Menantikan Fajar di Belahan Utara Eropa
Salah satu anugerah Allah yang sangat saya syukuri adalah kesempatan untuk menimba
ilmu selama 6 bulan
di Gothenburg, Swedia. Sebuah kota ‘maritim’ yang damai
dengan 500.000 orang penduduk. Berada di belahan utara benua eropa, membuat
kota ini mengalami fluktuasi perubahan panjang waktu siang dan malam akibat
perubahan musim, yang tentunya bagi kita berpengaruh pada jam sholat. Perbedaan
kondisi sosial dan alam antara Swedia dan Indonesia tersebut menghadirkan kesan
mendalam bagi saya, khususnya sebagai seorang muslimah.
Menjadi seorang muslimah ditengah lingkungan masyarakat yang
sekuler memiliki tantangan sekaligus kebahagiaan tersendiri. Dimulai dari pelaksanaan
ibadah harian seperti sholat. Jika di tanah air kita dapat dengan mudah
menemukan mushola di ruang public seperti stasiun, disana kami melakukan sholat
dengan duduk di kursi stasiun, demi tidak mengundang perhatian khusus dari
warga lain. Laboratorium tempat kami bekerja pun kami gunakan pula sebagai mushola
kami. Belum lagi di musim semi dan panas dimana matahari baru tenggelam pukul
22.30 dan terbit kembali pukul 03.30. kami harus menahan kantuk hingga pukul 3
pagi guna menunggu waktu shubuh. Bagaimana dengan puasa ramadhan yang tahun ini
jatuh di musim panas? Iya, saudara-saudara kita disana menjalankan puasa selama
19 jam (kebetulan saya pulang H-4 ramadhan). Subhanallah.
Mencari makanan halal juga memiliki kisahnya sendiri.
Beruntung di Eropa komposisi bahan makanan tertulis jelas di kemasannya,
sehingga yang haram dan halal menjadi jelas. Pedagang makanan jadi pun dengan
jujur akan menjawab pertanyaan tentang kehalalan barang dagangannya. Pasar arab
juga menjadi salah satu solusi mendapatkan daging, roti dan produk halal
lainnya.
Namun, betatapun tantangan tersebut, merupakan ujian bagi
kami sejauh mana iman tetap tertanam kokoh di hati. Dalam setiap sholat yang
dapat ditunaikan tepat waktu, terdapat rasa syukur yang lebih atas karunia
Allah yang mengidzinkan kami untuk tetap dapat bersujud padaNya. Dalam setiap
makanan halal yang dapat kami nikmati, terdapat rasa syukur atas manisnya
menjaga kesucian raga dari barang-barang yang haram. Kesempatan untuk beribadah
tersebut adalah hal yang kerap saya pribadi lupa syukuri selama saya di tanah
air, dikarenakan kemudahan untuk memperolehnya.
Kehidupan muslim di
Swedia
Pada tahun 2007, diperkirakan terdapat 250.000 hingga 350.000
muslim di Swedia, atau berkisar 1.8-4.4% dari total 9 juta penduduk Swedia. Mayoritas
muslim Swedia merupakan sunni. Sebagian besar muslim di Swedia tersebut berasal
dari kaum pendatang, yang didominasi oleh muslim timur tengah dan afrika dengan
latar belakang sosial yang heterogen. Mulai dari kaum berpendidikan tinggi
hingga yang merupakan pengungsi dari negara yang tengah konflik.
Ragam etnis muslim yang berada di Swedia, umumnya memiliki
komunitas dan kegiatannya masing-masing. Muslim Indonesia sendiri, secara umum
tidak menonjolkan kecondongan terhadap salah satu ormas islam yang umum ada di
Indonesia, seperti NU ataupun Muhammadiyah. Dalam pelaksanaannya, muslim
Indonesia kerap mengadakan pengajian rutin, melaksanakan tahlilan jika ada
anggota keluarga yang berpulang ke rahmatullah dan agenda silaturahim lainnya.
Sebagai nahdliyin, tentunya akan merindukan suasana yasinan, diba’an dan
tahlilan, mengingat belum adanya komunitas Nahdliyin disana.
Berdasarkan yang kami (muslim Indonesia) alami, penduduk
muslim dapat hidup selaras dengan penduduk pribumi. Masyarakat Swedia
mengedepankan kesetaraan hak dan harkat manusia. Mereka cenderung tidak
membeda-bedakan manusia berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, bahkan usia. Hal
ini memberikan saya kebebasan dalam melaksanakan ajaran Islam. Saya sebagai
muslimah yang berhijab, secara pribadi tidak melihat adanya pandangan khusus
terhadap saya atau muslimah berhijab lainnya. Disisi lain, terdapat hal yang
sedikit mengusik saya saat menemukan bahwa terdapat beberapa kebiasaan umat
muslim setempat yang kurang dapat diterima oleh warga asli. Misalnya dalam
aspek kebersihan. Umat muslim yang memiliki ajaran bahwa kebersihan adalah
sebagian dari iman, justru kerap tidak peduli terhadap kebersihan. Ketika hal
tersebut menyangkut kebersihan sarana publik seperti tram dan jalan, tentu
mengundang ketidaknyamanan bagi warga Swedia.
Secara umum, kami memperoleh hak yang sama sebagaimana
penduduk pribumi. Dilansir dari www.euro-islam.info, dalam hal pendidikan misalnya,
muslim mendapatkan hak pula terhadap pendidikan wajib dari usia 7-16 tahun, meskipun
pendatang umumnya kurang berminat untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan
tinggi. Muslim diperkenankan mendirikan tempat ibadah (masjid) dengan
persyaratan tertentu. Di Gothenburg sendiri, salah satu tempat beribadah
sekaligus pusat pengkajian Islam adalah Göteborgs moské (masjid Gothenburg).
Masjid tersebut secara rutin melaksanakan kajian keislaman yang dibuka bagi
muslim maupun nonmuslim. Göteborgs moské sekaligus menjadi sarana interaksi
antarmuslim dari berbagai etnis.
Peran pendidikan pesantren
Sebagai salah satu mahasiswa internasional di Chalmers
University, saya dituntut untuk mampu berinteraksi dengan baik dengan mahasiswa
lain yang notabenenya berasal dari berbagai negara. Baik dalam kegiatan
akademis maupun kehidupan sosial. Dalam interaksi sosial tersebut, representasi
dari kebudayaan masing-masing negara adalah karakter warga negaranya sendiri. Sebagai
seorang muslimah, keberadaan saya tak elak bukan hanya menjadi representasi
dari bangsa Indonesia namun juga representasi seorang muslim.
Saya sangat bersyukur, berbekal pengalaman dan pendidikan
berbasis pesantren nahdliyin yang saya tempuh sejak sekolah dasar, membantu
saya menjadi muslim yang toleran namun tetap pada prinsip. Di saat menjalankan
sholat dan menghindari makanan haram sangat diuji disana, bekal iman yang
ditanamkan di pesantren menjadi rem pengendali keistiqomahan. Belum lagi dalam
menghadapi tantangan dalam pergaulan. Seperti yang telah diketahui, kebudayaan
barat memiliki banyak perbedaan dengan bangsa Indonesia. Jika pergi ke pub atau
bar merupakan hal yang tabu di Indonesia, justru kedua tempat tersebut
merupakan sarana efektif dalam menjalin relasi sosial disana. Tak ayal, kedua
tempat tersebut pun pernah saya kunjungi. Dengan penuh toleransi, teman-teman saya
tidak memandang berbeda terhadap saya karena tidak mengkonsumsi minuman
beralkohol sebagaimana yang lazim mereka lakukan. Dalam obrolan di bar tersebut
sesekali mereka pernah bertanya tentang jilbab. Mereka menanyakan tentang
jilbab warna-warni yang saya kenakan dibandingkan dengan baju burdah yang biasa
digunakan islam timur tengah. Dari interaksi itu pula, saya menyadari bahwa di
tengah ke-modern-an bangsa barat, mereka merindukan ketentraman rohani.
Keterbukaan dan sikap toleran yang saya tunjukkan, mendapatkan
apresiasi dari lingkungan sekitar. Mereka seolah memperoleh pandangan baru
mengenai islam, yakni islam yang inklusif. Selama ini cerminan islam yang
mereka dapat adalah islam timur tengah yang keras ataupu islam sekuler ala sebagian
besar Iranian. Islam Indonesia menghadirkan nuansa islam baru
yang oleh salah seorang rekan saya yang berasal dari iran dikatakan sebagai
islam yang sesungguhnya. Yakni islam yang tidak dipaksakan, islam yang terbuka
terhadap dunia modern, namun tetap pada koridornya.
Pelajaran yang saya ambil dari perjalanan 6 bulan tersebut menyadarkan
saya akan pentingnya mengirimkan kader-kader pesantren ke luar negeri guna
memperluas syiar Islam. Yakni islam yang inklusif dan rahmatan lil alamin. Oleh
karenanya, para santri perlu pula dimotivasi dan difasiliasi untuk go aboard, salah satunya dengan
membekali santri dengan kemampuan bahasa asing yang baik.
Semoga sedikit yang dapat dibagikan ini dapat membuka pandangan kita tentang dunia diluar zona nyaman kita, Indonesia. Sekaligus menjadi motivasi untuk semakin membekali diri dengan ilmu dan akhlak yang indah guna mewujudkan islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Tulisan dimuat dalam majalah Aula Jawa Timur edisi November 2013
Comments
Post a Comment